Oleh : Khansa Saffana
Di semester empat ini, saya memiliki dua kesempatan untuk memberikan sedikit pengetahuan tentang dunia arsitektur di dua Taman Kanak-Kanak. Yang pertama, di TK Kauman dan yang kedua di TK Don Bosko. Banyak orang yang bertanya-tanya; mengapa tidak memilih TK yang lebih membutuhkan pengetahuan, daripada mengisi dan mengajar di TK yang berisi anak-anak dari kalangan ekonomi menengah ke atas?
Di semester empat ini, saya memiliki dua kesempatan untuk memberikan sedikit pengetahuan tentang dunia arsitektur di dua Taman Kanak-Kanak. Yang pertama, di TK Kauman dan yang kedua di TK Don Bosko. Banyak orang yang bertanya-tanya; mengapa tidak memilih TK yang lebih membutuhkan pengetahuan, daripada mengisi dan mengajar di TK yang berisi anak-anak dari kalangan ekonomi menengah ke atas?
Baik, alasan mendasar mengapa memilih dua TK tersebut, adalah, pilihan dosen saya. Ya, alasan mendasar yang tidak mendasar sekali, ya. Namun, pertanyaan-pertanyaan dari beberapa teman saya justru membuat saya sedikit terganggu, tentang; "Kenapa tidak memilih TK yang lebih 'kasihan' saja, sih?"
Begini, begini.
Memang, adik-adik dari TK yang notabene berasal dari masyarakat ekonomi menengah ke bawah mungkin lebih membutuhkan pengetahuan dari kita. Namun bukan berarti, adik-adik dari TK yang notabene berasal dari masyarakat ekonomi menengah ke atas tidak membutuhkan pengetahuan tersebut. Semua anak berhak atas pengetahuan tambahan dan pengalaman lebih, karena, meski mereka berasal dari masyarakat menengah ke atas dan lebih memiliki fasilitas, bukan berarti lantas mereka memiliki fasilitator yang pantas dan mampu untuk menyampaikan materi. Memang, adik-adik yang berasal dari masyarakat ekonomi menengah ke atas memiliki sedikit kemudahan untuk lebih mengerti, namun hal itu tidak lantas membuat mereka merasa terfasilitasi untuk menjadi lebih mengerti daripada adik-adik dari masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
Menyikapi hal tersebut, saya penasaran untuk mencari wadah untuk menyentuh teman-teman yang 'katanya' lebih pantas disentuh. Seperti dimudahkan oleh Tuhan (yailah), ada project milik kakak tingkat saya untuk mengajar di Kampung Malang, Semarang.
Kampung Malang adalah sebuah tempat yang bisa dibilang berada di tengah kota, namun tersudutkan. Terkenal akan kekumuhan dan masyarakatnya yang memiliki taraf ekonomi menengah ke bawah. Permukiman ini juga terkenal akan kepadatannya.
Selama bulan Ramadhan, dua kali seminggu, saya menyempatkan sedikit waktu untuk bergabung dengan anak-anak di Kampung Malang. Mayoritas berusia 5-12 tahun. Ada yang masih TK Kecil, ada yang sudah kelas 1 SD, ada juga bahkan anak-anak kelas 6 SD yang baru saja rampung menyelesaikan ujian nasional. Beragam usia ada di kelas ini, membuat kami sedikit kewalahan untuk membagi porsi kegiatan yang cocok. Beda usia, beda perlakuan, sehingga beberapa hari di kelas berjalan kurang efektif karena kurang cocok untuk anak-anak kelas 6 SD yang sudah tidak tertarik untuk kegiatan belajar yang kekanak-kanakan. Huhu, maaf ya, Dik. :'
Tentu, sikap dari adik-adik di Kampung Malang sangat berbeda dengan adik-adik di TK Kauman dan Don Bosko. Pada pertemuan pertama, saya masih sedikit tidak terbiasa dengan sikap adik-adik dari Kampung Malang. Jangan mengharapkan sikap-sikap manis, karena adik-adik yang saya hadapi sepertinya telah menjalani pahit-manis-kerasnya hidup melebihi yang saya sudah hadapi. Keras kepala, ribut, kasar, adalah makanan sehari-hari selama berkecimpung langsung di Kampung Malang. Namun saya masih bisa memahami, mungkin saja kehidupan yang mereka alami-lah yang menciptakan karakter masing-masing anak. Mungkin keadaan lingkunganlah yang telah menciptakan karakter masing-masing anak. Mungkin keadaan ekonomi yang mereka hadapilah, yang telah menciptakan karakter masing-masing anak. Selain itu, mereka pun masih anak-anak. Jadi, wajar saja.
Tetapi, anak-anak tetaplah anak-anak. Beberapa hal dibalik kerasnya mereka, ributnya mereka, susah diaturnya mereka, adalah ketulusan hati dan semangat dari dalam diri untuk mengetahui dan meraih pengetahuan seluas-luasnya. Kepolosan yang terpancar dari benik mata mereka, tetaplah kepolosan anak-anak yang masih suka makan coklat dan mendengarkan cerita dongeng sebelum tidur.
Yang saya cintai dan senangi dari anak-anak Kampung Malang ini adalah, mereka adalah generasi yang belum terlalu terkontaminasi oleh canggihnya teknologi kita. Mereka masih bermain sepeda di sore hari setelah mandi dan pupuran, berteriak satu sama lain untuk membuktikan bahwa merekalah yang terhebat, masih bercengkrama mengobrol dengan sesama hanya untuk menghabiskan waktu, dan sebelum maghrib, mereka harus sudah ada di mushola dan kemudian pulang ke rumah masing-maisng. Di lingkungan tersebut, hanya ada satu lapangan berisi satu perosotan usang dan kerangka gerobak. Sesederhana itulah permainan yang tersedia, namun masih menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka. Saya mencintai kebahagiaan yang berasal dari kesederhanaan, kesederhanaan yang menciptakan senyuman :)
Ya, meskipun sumber kebahagiaan mereka juga berasal dari tayangan televisi dan kaset PS, sih. Hehe.
Dari pengalaman ini pun, saya belajar banyak, untuk lebih mengerti arti kebahagian yang sesungguhnya, arti mensyukuri yang sesungguhnya, arti saling memiliki yang sesungguhnya, dan satu lagi: bahwa ada tiga hal yang patut dan harus dimiliki oleh siapa saja, tidak memandang usia, tingkat ekonomi, dan latar belakang keluarga, adalah ilmu, mimpi, dan kebahagiaan.
Selamat mencari ilmu, menggapai mimpi, dan menciptakan kebahagiaan!
Begini, begini.
Memang, adik-adik dari TK yang notabene berasal dari masyarakat ekonomi menengah ke bawah mungkin lebih membutuhkan pengetahuan dari kita. Namun bukan berarti, adik-adik dari TK yang notabene berasal dari masyarakat ekonomi menengah ke atas tidak membutuhkan pengetahuan tersebut. Semua anak berhak atas pengetahuan tambahan dan pengalaman lebih, karena, meski mereka berasal dari masyarakat menengah ke atas dan lebih memiliki fasilitas, bukan berarti lantas mereka memiliki fasilitator yang pantas dan mampu untuk menyampaikan materi. Memang, adik-adik yang berasal dari masyarakat ekonomi menengah ke atas memiliki sedikit kemudahan untuk lebih mengerti, namun hal itu tidak lantas membuat mereka merasa terfasilitasi untuk menjadi lebih mengerti daripada adik-adik dari masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
Menyikapi hal tersebut, saya penasaran untuk mencari wadah untuk menyentuh teman-teman yang 'katanya' lebih pantas disentuh. Seperti dimudahkan oleh Tuhan (yailah), ada project milik kakak tingkat saya untuk mengajar di Kampung Malang, Semarang.
Kampung Malang adalah sebuah tempat yang bisa dibilang berada di tengah kota, namun tersudutkan. Terkenal akan kekumuhan dan masyarakatnya yang memiliki taraf ekonomi menengah ke bawah. Permukiman ini juga terkenal akan kepadatannya.
Selama bulan Ramadhan, dua kali seminggu, saya menyempatkan sedikit waktu untuk bergabung dengan anak-anak di Kampung Malang. Mayoritas berusia 5-12 tahun. Ada yang masih TK Kecil, ada yang sudah kelas 1 SD, ada juga bahkan anak-anak kelas 6 SD yang baru saja rampung menyelesaikan ujian nasional. Beragam usia ada di kelas ini, membuat kami sedikit kewalahan untuk membagi porsi kegiatan yang cocok. Beda usia, beda perlakuan, sehingga beberapa hari di kelas berjalan kurang efektif karena kurang cocok untuk anak-anak kelas 6 SD yang sudah tidak tertarik untuk kegiatan belajar yang kekanak-kanakan. Huhu, maaf ya, Dik. :'
Tentu, sikap dari adik-adik di Kampung Malang sangat berbeda dengan adik-adik di TK Kauman dan Don Bosko. Pada pertemuan pertama, saya masih sedikit tidak terbiasa dengan sikap adik-adik dari Kampung Malang. Jangan mengharapkan sikap-sikap manis, karena adik-adik yang saya hadapi sepertinya telah menjalani pahit-manis-kerasnya hidup melebihi yang saya sudah hadapi. Keras kepala, ribut, kasar, adalah makanan sehari-hari selama berkecimpung langsung di Kampung Malang. Namun saya masih bisa memahami, mungkin saja kehidupan yang mereka alami-lah yang menciptakan karakter masing-masing anak. Mungkin keadaan lingkunganlah yang telah menciptakan karakter masing-masing anak. Mungkin keadaan ekonomi yang mereka hadapilah, yang telah menciptakan karakter masing-masing anak. Selain itu, mereka pun masih anak-anak. Jadi, wajar saja.
Tetapi, anak-anak tetaplah anak-anak. Beberapa hal dibalik kerasnya mereka, ributnya mereka, susah diaturnya mereka, adalah ketulusan hati dan semangat dari dalam diri untuk mengetahui dan meraih pengetahuan seluas-luasnya. Kepolosan yang terpancar dari benik mata mereka, tetaplah kepolosan anak-anak yang masih suka makan coklat dan mendengarkan cerita dongeng sebelum tidur.
Yang saya cintai dan senangi dari anak-anak Kampung Malang ini adalah, mereka adalah generasi yang belum terlalu terkontaminasi oleh canggihnya teknologi kita. Mereka masih bermain sepeda di sore hari setelah mandi dan pupuran, berteriak satu sama lain untuk membuktikan bahwa merekalah yang terhebat, masih bercengkrama mengobrol dengan sesama hanya untuk menghabiskan waktu, dan sebelum maghrib, mereka harus sudah ada di mushola dan kemudian pulang ke rumah masing-maisng. Di lingkungan tersebut, hanya ada satu lapangan berisi satu perosotan usang dan kerangka gerobak. Sesederhana itulah permainan yang tersedia, namun masih menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka. Saya mencintai kebahagiaan yang berasal dari kesederhanaan, kesederhanaan yang menciptakan senyuman :)
Ya, meskipun sumber kebahagiaan mereka juga berasal dari tayangan televisi dan kaset PS, sih. Hehe.
Dari pengalaman ini pun, saya belajar banyak, untuk lebih mengerti arti kebahagian yang sesungguhnya, arti mensyukuri yang sesungguhnya, arti saling memiliki yang sesungguhnya, dan satu lagi: bahwa ada tiga hal yang patut dan harus dimiliki oleh siapa saja, tidak memandang usia, tingkat ekonomi, dan latar belakang keluarga, adalah ilmu, mimpi, dan kebahagiaan.
Selamat mencari ilmu, menggapai mimpi, dan menciptakan kebahagiaan!